Gue menatap lilin angka 22 ku. Api itu akan terus melelehkan lilin yang tak berdosa itu. Gue menatap sekeliling. Mamaku, Ayahku, Mia, dan teman-temanku yang lain. Dion? Dion tak datang. Alasannya ia pergi keluar kota. Surabaya tepatnya. Ah! sudahlah..
"Make a wish dulu dong honey" Ujar mama mengagetkan lamunanku. Gue pun memejamkan mataku. Ku harap, aku dapat bersama dion seperti dulu. Hanya aku dan dion. Gue membuka mata, semua harap-harap cemas. Gue pun meniup lilin berbentuk 22 itu. Api padam. Mungkin cinta Dion juga sudah 'padam' sama gue.
Gue gelisah. Gue memutuskan untuk ke arah kolam renang. Mencelupkan ujung-ujung kaki ke dalam air yang dingin. Dion nggak peduli lagi sama gue. Ya, Tuhan.. Kenapa harus Dion?
Tangan lembut menyentuh bahu gue "Rere.."
"Eh, Mia" gue tersenyum simpul
Mia pun ikut duduk disamping gue "Dion lagi?" gue hanya mengangguk
"Lo masih sama dia kan?" tanya Mia hati-hati. Gue pun hanya mengangguk lagi. Kemudian hening
"Mi, lo tau nggak kenapa dion akhir-akhir ini ngejauh dari gue?" tanyaku memecah keheningan
"Maaf Re, gue nggak tau. Kalo gue sih, mungkin lo pernah buat salah sama dion" jawabnya. Gue nggak bisa menahan airmata gue lagi. Akhirnya buliran lembut menetes di pipi gue.
Mia melihatku perihatin "Apa gue perlu telepon dion?"
"Gak perlu Mi, dengan gini.. Gue bisa tau kalo dion.. kalo dion.." gue sesengukan
"Gue masuk dulu ya Re"
"Hmmm.."
*Keesokan harinya di Stasiun Radio Bandung*
"Renata?"
Gue mengenal suara lembut itu. Gue mengangkat kepala. "Dion?" Ia tersenyum. Tapi senyumnya berbeda dari biasanya. Gue beranjak dari kursi gue. Memeluk dion sangat erat. gue kangen sama dia.
"Rere?"
"Aku kangen sama kamu Dion" ujarku tak menghiraunya.
"...."
"Kamu nggak papa kan Dion?" gue melepas pelukan gue dari dion. Menatap matanya.
"Hm.. aku, nggak papa. Aku baik-baik saja" jawabnya datar.
"Dion, maafin aku"
"Untuk?"
Gue menghela nafas panjang "Untuk semua kesalahan yang nggak aku sadari buat kamu sakit"
Dion hanya memandang gue, wajahnya sayu. Dia hanya tersenyum simpul.
"Dion, aku harus siaran dulu" lanjutku kemudian.
"Yaudah, sana siaran dulu" aku pun beranjak pergi. Kemudian tangan lembut menarik tangan gue. Gue pun berbalik. "Dion?" Tak ada jawaban. Dia hanya meluk gue, cukup lama.
"Maafin aku Re"
"Kok kamu ngomongnya gitu?"
"Aku sayang kamu" lanjutnya nggak menghiraukan gue.
"Aku juga sayang kamu" "Aku harus siaran dulu" Ujarku
Dion pun mengecup kening gue perlahan. Kayaknya ada yang salah dari Dion. Tapi gue ngga berani nanya apa-apa.
Aku menatapnya heran "Dion?" panggilku.
"Habis siaran, kamu nggak boleh nangis yaa sayang" ia nggak menghiraukan gue lagi.
"Kenapa?" tanyaku hati-hati.
"Udah gih, sana siaran dulu" jawabnya. Gue pun beranjak pergi, gue membalikkan badan ke arah Dion lagi. Ia hanya tersenyum tulus. Gue pun membalas senyumnya. Ia pun berlalu pergi menghilang dibalik keheranan gue.
*In the studio*
Gue memakai headphone berwarna silver itu. Kemudian menghela nafas panjang sambil tersenyum malas. Gue pun menekan tombol merah bertuliskan 'On Air'
"Haloo, selamat malam para pendengar setia Bandung Pass Radio. Kembali lagi dengan gue Renata, akan menemani malam kalian. Kali ini kita buka sesi untuk para penelpon yang pingin curhat. Tapi, setelah lagu berikut yang akan diputar. This is it..."
Gue melepas headphone gue. Kemudian melirik partner disebelah gue. "Shel.."
"hmm?"
"Ntar lo mau kan nggantiin gue siaran kalo gue ada apa-apa?" tanyaku.
"Maksud lo?" Shella tanya balik ke gue.
"Gue ngerasa, ada yang nggak enak aja ntar. Semacam bad feeling gitu"
"Oh yaudah gak papa sih" putusnya.
"Sip! Maacih Shella ku sayang!" kemudian gue memasang headphone kembali.
"Hai hai! Kembali lagi sama gue. Haha, gimana? bagus ya lagunya tadi? Oke, tanpa basa-basi lagi. Yuk kita langsung buka sesi untuk para penelpon. Ayo silahkan siapa penelpon pertama kita??" Tuuuut.. tuuut.. tuuut... "Nah, penelpon pertama kita. Halo dengan siapa dimana?"
"Dari Dino di Cihampelas" terdengar suara berat dari ujung telepon.
"Yak, oke Kak Dino silahkan mau curhat tentang apa?"
A Cup of memories and tears. My first broken-hearted love, Embry Call. He is my only hope.
Sabtu, 08 Oktober 2011
Langganan:
Postingan (Atom)
Sabtu, 08 Oktober 2011
Renata 9
Gue menatap lilin angka 22 ku. Api itu akan terus melelehkan lilin yang tak berdosa itu. Gue menatap sekeliling. Mamaku, Ayahku, Mia, dan teman-temanku yang lain. Dion? Dion tak datang. Alasannya ia pergi keluar kota. Surabaya tepatnya. Ah! sudahlah..
"Make a wish dulu dong honey" Ujar mama mengagetkan lamunanku. Gue pun memejamkan mataku. Ku harap, aku dapat bersama dion seperti dulu. Hanya aku dan dion. Gue membuka mata, semua harap-harap cemas. Gue pun meniup lilin berbentuk 22 itu. Api padam. Mungkin cinta Dion juga sudah 'padam' sama gue.
Gue gelisah. Gue memutuskan untuk ke arah kolam renang. Mencelupkan ujung-ujung kaki ke dalam air yang dingin. Dion nggak peduli lagi sama gue. Ya, Tuhan.. Kenapa harus Dion?
Tangan lembut menyentuh bahu gue "Rere.."
"Eh, Mia" gue tersenyum simpul
Mia pun ikut duduk disamping gue "Dion lagi?" gue hanya mengangguk
"Lo masih sama dia kan?" tanya Mia hati-hati. Gue pun hanya mengangguk lagi. Kemudian hening
"Mi, lo tau nggak kenapa dion akhir-akhir ini ngejauh dari gue?" tanyaku memecah keheningan
"Maaf Re, gue nggak tau. Kalo gue sih, mungkin lo pernah buat salah sama dion" jawabnya. Gue nggak bisa menahan airmata gue lagi. Akhirnya buliran lembut menetes di pipi gue.
Mia melihatku perihatin "Apa gue perlu telepon dion?"
"Gak perlu Mi, dengan gini.. Gue bisa tau kalo dion.. kalo dion.." gue sesengukan
"Gue masuk dulu ya Re"
"Hmmm.."
*Keesokan harinya di Stasiun Radio Bandung*
"Renata?"
Gue mengenal suara lembut itu. Gue mengangkat kepala. "Dion?" Ia tersenyum. Tapi senyumnya berbeda dari biasanya. Gue beranjak dari kursi gue. Memeluk dion sangat erat. gue kangen sama dia.
"Rere?"
"Aku kangen sama kamu Dion" ujarku tak menghiraunya.
"...."
"Kamu nggak papa kan Dion?" gue melepas pelukan gue dari dion. Menatap matanya.
"Hm.. aku, nggak papa. Aku baik-baik saja" jawabnya datar.
"Dion, maafin aku"
"Untuk?"
Gue menghela nafas panjang "Untuk semua kesalahan yang nggak aku sadari buat kamu sakit"
Dion hanya memandang gue, wajahnya sayu. Dia hanya tersenyum simpul.
"Dion, aku harus siaran dulu" lanjutku kemudian.
"Yaudah, sana siaran dulu" aku pun beranjak pergi. Kemudian tangan lembut menarik tangan gue. Gue pun berbalik. "Dion?" Tak ada jawaban. Dia hanya meluk gue, cukup lama.
"Maafin aku Re"
"Kok kamu ngomongnya gitu?"
"Aku sayang kamu" lanjutnya nggak menghiraukan gue.
"Aku juga sayang kamu" "Aku harus siaran dulu" Ujarku
Dion pun mengecup kening gue perlahan. Kayaknya ada yang salah dari Dion. Tapi gue ngga berani nanya apa-apa.
Aku menatapnya heran "Dion?" panggilku.
"Habis siaran, kamu nggak boleh nangis yaa sayang" ia nggak menghiraukan gue lagi.
"Kenapa?" tanyaku hati-hati.
"Udah gih, sana siaran dulu" jawabnya. Gue pun beranjak pergi, gue membalikkan badan ke arah Dion lagi. Ia hanya tersenyum tulus. Gue pun membalas senyumnya. Ia pun berlalu pergi menghilang dibalik keheranan gue.
*In the studio*
Gue memakai headphone berwarna silver itu. Kemudian menghela nafas panjang sambil tersenyum malas. Gue pun menekan tombol merah bertuliskan 'On Air'
"Haloo, selamat malam para pendengar setia Bandung Pass Radio. Kembali lagi dengan gue Renata, akan menemani malam kalian. Kali ini kita buka sesi untuk para penelpon yang pingin curhat. Tapi, setelah lagu berikut yang akan diputar. This is it..."
Gue melepas headphone gue. Kemudian melirik partner disebelah gue. "Shel.."
"hmm?"
"Ntar lo mau kan nggantiin gue siaran kalo gue ada apa-apa?" tanyaku.
"Maksud lo?" Shella tanya balik ke gue.
"Gue ngerasa, ada yang nggak enak aja ntar. Semacam bad feeling gitu"
"Oh yaudah gak papa sih" putusnya.
"Sip! Maacih Shella ku sayang!" kemudian gue memasang headphone kembali.
"Hai hai! Kembali lagi sama gue. Haha, gimana? bagus ya lagunya tadi? Oke, tanpa basa-basi lagi. Yuk kita langsung buka sesi untuk para penelpon. Ayo silahkan siapa penelpon pertama kita??" Tuuuut.. tuuut.. tuuut... "Nah, penelpon pertama kita. Halo dengan siapa dimana?"
"Dari Dino di Cihampelas" terdengar suara berat dari ujung telepon.
"Yak, oke Kak Dino silahkan mau curhat tentang apa?"
"Make a wish dulu dong honey" Ujar mama mengagetkan lamunanku. Gue pun memejamkan mataku. Ku harap, aku dapat bersama dion seperti dulu. Hanya aku dan dion. Gue membuka mata, semua harap-harap cemas. Gue pun meniup lilin berbentuk 22 itu. Api padam. Mungkin cinta Dion juga sudah 'padam' sama gue.
Gue gelisah. Gue memutuskan untuk ke arah kolam renang. Mencelupkan ujung-ujung kaki ke dalam air yang dingin. Dion nggak peduli lagi sama gue. Ya, Tuhan.. Kenapa harus Dion?
Tangan lembut menyentuh bahu gue "Rere.."
"Eh, Mia" gue tersenyum simpul
Mia pun ikut duduk disamping gue "Dion lagi?" gue hanya mengangguk
"Lo masih sama dia kan?" tanya Mia hati-hati. Gue pun hanya mengangguk lagi. Kemudian hening
"Mi, lo tau nggak kenapa dion akhir-akhir ini ngejauh dari gue?" tanyaku memecah keheningan
"Maaf Re, gue nggak tau. Kalo gue sih, mungkin lo pernah buat salah sama dion" jawabnya. Gue nggak bisa menahan airmata gue lagi. Akhirnya buliran lembut menetes di pipi gue.
Mia melihatku perihatin "Apa gue perlu telepon dion?"
"Gak perlu Mi, dengan gini.. Gue bisa tau kalo dion.. kalo dion.." gue sesengukan
"Gue masuk dulu ya Re"
"Hmmm.."
*Keesokan harinya di Stasiun Radio Bandung*
"Renata?"
Gue mengenal suara lembut itu. Gue mengangkat kepala. "Dion?" Ia tersenyum. Tapi senyumnya berbeda dari biasanya. Gue beranjak dari kursi gue. Memeluk dion sangat erat. gue kangen sama dia.
"Rere?"
"Aku kangen sama kamu Dion" ujarku tak menghiraunya.
"...."
"Kamu nggak papa kan Dion?" gue melepas pelukan gue dari dion. Menatap matanya.
"Hm.. aku, nggak papa. Aku baik-baik saja" jawabnya datar.
"Dion, maafin aku"
"Untuk?"
Gue menghela nafas panjang "Untuk semua kesalahan yang nggak aku sadari buat kamu sakit"
Dion hanya memandang gue, wajahnya sayu. Dia hanya tersenyum simpul.
"Dion, aku harus siaran dulu" lanjutku kemudian.
"Yaudah, sana siaran dulu" aku pun beranjak pergi. Kemudian tangan lembut menarik tangan gue. Gue pun berbalik. "Dion?" Tak ada jawaban. Dia hanya meluk gue, cukup lama.
"Maafin aku Re"
"Kok kamu ngomongnya gitu?"
"Aku sayang kamu" lanjutnya nggak menghiraukan gue.
"Aku juga sayang kamu" "Aku harus siaran dulu" Ujarku
Dion pun mengecup kening gue perlahan. Kayaknya ada yang salah dari Dion. Tapi gue ngga berani nanya apa-apa.
Aku menatapnya heran "Dion?" panggilku.
"Habis siaran, kamu nggak boleh nangis yaa sayang" ia nggak menghiraukan gue lagi.
"Kenapa?" tanyaku hati-hati.
"Udah gih, sana siaran dulu" jawabnya. Gue pun beranjak pergi, gue membalikkan badan ke arah Dion lagi. Ia hanya tersenyum tulus. Gue pun membalas senyumnya. Ia pun berlalu pergi menghilang dibalik keheranan gue.
*In the studio*
Gue memakai headphone berwarna silver itu. Kemudian menghela nafas panjang sambil tersenyum malas. Gue pun menekan tombol merah bertuliskan 'On Air'
"Haloo, selamat malam para pendengar setia Bandung Pass Radio. Kembali lagi dengan gue Renata, akan menemani malam kalian. Kali ini kita buka sesi untuk para penelpon yang pingin curhat. Tapi, setelah lagu berikut yang akan diputar. This is it..."
Gue melepas headphone gue. Kemudian melirik partner disebelah gue. "Shel.."
"hmm?"
"Ntar lo mau kan nggantiin gue siaran kalo gue ada apa-apa?" tanyaku.
"Maksud lo?" Shella tanya balik ke gue.
"Gue ngerasa, ada yang nggak enak aja ntar. Semacam bad feeling gitu"
"Oh yaudah gak papa sih" putusnya.
"Sip! Maacih Shella ku sayang!" kemudian gue memasang headphone kembali.
"Hai hai! Kembali lagi sama gue. Haha, gimana? bagus ya lagunya tadi? Oke, tanpa basa-basi lagi. Yuk kita langsung buka sesi untuk para penelpon. Ayo silahkan siapa penelpon pertama kita??" Tuuuut.. tuuut.. tuuut... "Nah, penelpon pertama kita. Halo dengan siapa dimana?"
"Dari Dino di Cihampelas" terdengar suara berat dari ujung telepon.
"Yak, oke Kak Dino silahkan mau curhat tentang apa?"
Langganan:
Postingan (Atom)